MANGROVEMAGZ. Berawal dari kegundahan penulis berdiskusi dengan rekan satu meja di kantor. Berdiskusi menghadapi kenyataan bahwa hampir seluruh pesisir di Indonesia rentan terhadap bencana limpasan gelombang pasang bahkan terjangan tsunami, karena perubahan iklim monsoon dan gempa dangkal di lempeng tektonik bawah laut.
Belajar dari Jepang yang memiliki sejarah panjang terjangan topan dan gelombang tsunami yang datanya terekam dengan baik selama ratusan tahun. Mereka telah menggelontorkan dana yang sangat besar dengan memberi perlakuan hampir 90% pantai dengan berbagai infrastruktur seperti sea wall, tsunami gate, coastal breakwater, embankment dan vegetasi pantai.
Mereka menganggap pembangunan semua itu merupakan suatu investasi. Gak papa mahal dan gak tanggung-tanggung bangunnya, namun dapat melindungi pemukiman, meningkatkan resilience dan menekan jumlah korban.
Berdasar pengalaman riset penulis di International Centre for Water Hazard and Risk Management under the auspices of UNESCO (ICHARM) Public Work Research Institute (PWRI) Japan serta hasil kunjungan ke kawasan Sanriku area dan Kii Peninsula area tahun 2008, terdapat satu wilayah di Sanriku area yang bisa dijadikan contoh untuk direplikasi di pesisir Indonesia, yaitu Takata-matsubara forest, dimana penulis berkunjung di daerah ini tahun 2008, namun tahun 2011 hutan ini habis diterjang mega tsunami.
Cemara laut di sekitar pantai memiliki fungsi penting.
Jika dilihat ketahanan hutan pinus Takata-matsubara dalam menghadang tsunami tahun 2011, memang hutan ini hancur, namun penulis melihat konsep dan fungsi barisan hutan ini dalam menghadang tsunami h <7 m, gelombang pasang dan mencegah erosi pantai.
Kenyataan tersebut membuktikan bahwa tidak cukup hanya dengan membangun hard-structure coastal protection, namun harus juga dilengkapi sistem early warning yang cepat dan akurat, evacuation route and area, evacuation map yang tersosialisasi dengan baik, dan tentunya masyarakat yang sigap terhadap bencana, dimana bisa saja ditingkatkan dengan penyadaran dan seringnya drill.
Hutan Takata-matsubara dulunya berada di pesisir kota Rikuzentakata, Prefektur Iwate dan sudah ada sejak jaman Edo (1603-1867) dengan perkiraan umur pohon 270-300 tahun.
Hutan vegetasi cemara laut yang rapat dapat juga mencegah atau memulihkan kondisi pantai yang terkena erosi pantai. Contoh di Pantai Depok, Pekalongan, Jawa Tengah yang telah ditanami melalui program KKP tahun 2008-2010. Saat ini telah berkembang menjadi daerah wisata. Terlalu rapat pun akan menyebabkn pohon cemara laut menjadi kerdil tidak tumbuh maksimal, seperti penulis saksikan saat kunjungan ke habitat cemara laut di Pacitan hasil penanaman KKP sewindu lalu, yang penulis kunjungi tahun 2012.
Konsep vegetasi pantai (cemara laut) dan embankment:
Dilihat dari zona:
1) Terdepan menghadap laut, hamparan pasir, setelah itu bisa ada jalan untuk inspeksi,
2) Barisan cemara laut dengan kerapatan dan ketebalan hutan tertentu,
3) Embankment dengan ketinggian yang disesuaikan dengan catatan jejak rekam tinggi gelombang dan tsunami yang pernah menerjang,
4) Steril area dengan lebar disesuaikan, dan
5) Bangunan masyarakat.
Dilihat dari kelengkapan infrastruktur:
1) Hutan cemara laut,
2) Embankment yang diatasnya bisa dibangun jalan dan sarana lain,
3) Papan informasi yang berisi evacuation map dan penjelasan kawasan hutan,
4) Sarana soft structure untuk early warning, seperti sirine, pengumuman di masjid, tsunami early warning in social media,
5) Tsunami gate yang jika ada gelombang tinggi akan menerjang, maka pintu ini bisa ditutup,
6) Beberapa anak tangga naik turun di embankment pada jarak tertentu.
Fungsi embankment bisa jadi barier terakhir terhadap terjangan gekombang laut, sekaligus barier puing kayu pohon yang terbawa karena terjangan gelombang laut. Embankment ini juga bisa dtanami vegetasi lain agar teduh jika dilintasi atasnya.
Jenis kegiatan yang bisa dilakukan:
1) Penyadaran kepada generasi muda dan masyarakat di sekitar lokasi,
2) Penanaman cemara laut secara sukarela di hutan cemara yang telah tumbuh sehingga bertambah luas memanjang,
3) Pengajaran materi mitigasi bencana di sekolah di sekitar lokasi, dan
4) Sering dilakukan drill.
Konsep ini relatif lebih masuk akal dan berbiaya “murah” diaplikasikan di pesisir pantai Indonesia yang rentan gelombang tinggi dan tsunami.
(Sumber foto: dokumentasi pribadi).
Programing, implementing and financing analist at Ministry of Marine Affairs and Fisheries (MMAF) Republic of Indonesia.