MANGROVEMAGZ. Kompas dibuka, jarumnya menari-nari. Mata jeli melihat jarum yang menunjuk angka-angka. Azimuth ditentukan, kami memotong jalan dan menerobos hutan pantai yang kering dimakan kemarau. Di suatu pesisir selatan Pulau Jawa, angka-angka dari kompas tua itu menentukan arah langkah kami, menuju hutan mangrove purba yang tersembunyi.
Hutan mangrove itu harus ditempuh dengan memotong jalan ke arah timur laut agar tidak terlalu jauh. Hutan pantai yang dilewati cukup rapat, dipenuhi oleh tumbuhan rambat, pandan dan rotan berduri. Suara kicau burung dan teriakan Lutung memenuhi udara di dalam hutan, tanda bahwa hutan ini masih asri dan jarang dijamah. Hutan ini merupakan salah satu bagian yang tidak terjamah penjarahan hutan besar-besaran, pada masa transisi akhir Orde Baru, dua dekade lalu.
Setelah setengah jam membelah hutan pantai dan menelusuri anak sungai yang mengering, kami sampai di ujung barat hutan mangrove. Jajaran pohon Tancang dan Bakau tua tertiup embusan angin Samudera Hindia. Membuatnya seakan-akan menjelma menjadi barisan gergasi, prajurit penjaga Negeri Pajajaran atau menjadi tempat bersembunyi Maung Lodaya, seperti yang menjadi legenda turun-temurun di sini. Kawasan hutan ini memang erat dikaitkan dengan legenda mengenai prajurit Prabu Siliwangi.
Melihat kondisinya, kami bisa mengerti mengapa hutan ini dianggap keramat oleh banyak orang selain karena legenda dan mitos yang melekat padanya sejak dulu kala.
Hutan mangrove sisi barat tumbuh pada lumpur “tipis” yang melapisi batu karang dan cadas. Kondisi ini membuat seleksi alam berjalan lebih “keras” daripada di ekosistem mangrove pada umumnya yang memiliki lapisan lumpur lebih tebal (sebagai syarat ekosistem mangrove berkembang dengan subur).
Hutan mangrove sini telah mencapai fase suksesi klimaks, yang artinya ekosistem mangrove dan regenerasinya sudah stabil sehingga pohon-pohon mangrove tumbuh relatif lambat, dan membutuhkan puluhan tahun untuk sebatang pohon tumbuh menjadi pohon yang besar dan kuat. Hutan mangrove purba itu berada di Cagar Alam Leuweung Sancang, Garut, Jawa Barat, tepatnya di muara sungai Cipalawah.
Morfologi hutan yang rapat dan dipenuhi pohon tua membuat hutan mangrove purba ini pantas “dikeramatkan” atau dikonservasi, baik secara budaya maupun ekologis. Ditambah lagi dengan realita bahwa keberadaan ekosistem mangrove yang semacam ini sudah sangat sulit ditemukan di Jawa.
Cagar Alam Leuweung Sancang merupakan kawasan darat seluas 2.313,90 ha, meliputi kesatuan ekosistem hutan hujan dataran rendah, hutan pantai dan mangrove. Sedangkan Cagar Alam Laut Sancang merupakan kawasan perairan seluas 1.150 ha dengan tipe ekosistem pantai, padang lamun, terumbu karang dan perairan laut.
Ekosistem-ekosistem tersebut menjadi habitat banyak spesies flora dan fauna endemik yang dilindungi dan terancam punah, seperti Palahlar (Dipterocarpus hasseltii), Patmo Sari (Rafflesia padma), Lutung Budeng (Trachypithecus auratus), Owa Jawa (Hylobates moloch), Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) dan Elang Jawa (Nizaetus bartelsi). Tidak lupa, tumbuhan khas ekosistem mangrove dan pantai Sancang yang bernilai penting dalam aspek budaya, yaitu Kaboa (Aegiceras corniculatum).
Pak Haris Mustari (topi hitam dengan baju kotak-kotak) tengah menjelaskan tanaman Kaboa (tampak di latar depan).
Mangrove Leuweung Sancang menjadi habitat penting dari berbagai spesies burung air, primata, ikan, moluska, krustasea, reptil, hingga karnivora besar, seperti Macan Tutul Jawa. Keberadaan mangrove memiliki fungsi penting untuk terjaganya ekosistem litoral, lamun, dan terumbu karang di Sancang.
Mangrove menjerat sedimen yang dibawa aliran sungai dan mengatur siklus hara untuk ekosistem-ekosistem tersebut. Wilayah mangrove yang selalu tergenang menjadi tempat memijah ikan-ikan karang, daerah berlumpur dan tajuk hutan menjadi lokasi mencari makan berbagai satwa, dan ranting serta cabang pohonan yang kokoh menjadi tempat berbiak burung-burung air.
Terjaganya kesatuan ekosisem Cagar Alam Leuweung Sancang ini menenentukan pula nasib masyarakat sekitar, baik secara ekonomi maupun latar belakang sejarah dan budayanya. Mitos dan legenda yang melekat pada kawasan konservasi ini secara tidak langsung telah melindungi hutan dari kerusakan oleh ulah tangan manusia. Proteksi ini telah memungkinkan mangrove Leuweung Sancang tetap lestari.
Kini dan sampai kapanpun, selain kegunaan ekologisnya, keberadaan hutan mangrove Leuweung Sancang menjadi salah satu unsur penting dalam sejarah-budaya Tanah Pasundan serta komponen ekosistem dataran rendah primer yang tersisa di Jawa Dwipa. Kehilangan ekosistem ini berarti kehilangan lumbung keanekaragaman hayati dan salah satu akar sejarah dan budaya masyarakat Sunda.
Setelah mempelajari struktur dan komposisi hutan mangrove dalam rangka Praktik Lapang Kehutanan 2019, kami menelusuri jalan pulang ke mes. Sekali lagi, melewati hutan pantai kering yang penuh tumbuhan berduri, menelusuri dengan back azimuth dan pantai berpasir putih yang membentang sekian kilometer jauhnya.
Sepanjang perjalanan sore itu, kami dihibur ombak Samudera Hindia yang seolah-olah tidak berujung, perahu nelayan yang menyendiri, dan kawanan Lutung Budeng yang mencari buah Ketapang atau sekadar bermain di pohon tidurnya.
Kami beruntung dapat dibimbing oleh Pohut Resor Cagar Alam Leuewung Sancang dan Pak Haris Mustari, dosen Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor, yang telah belasan tahun meneliti ekologi Leuweung Sancang. Ibarat kata, kami dibimbing mengenal Leuweung Sancang oleh orang-orang yang telah hafal setiap jengkal hutannya yang misterius.
Ada rasa ingin kembali ke sini di masa depan, merasakan kembali sejuknya duduk di bawah pohon Palahlar raksasa, menelusuri Bakau-bakau tua, dan pantai berpasir putih bersih, yang dibalut berbagai mitos dan legenda mahsyur. Entah kapan hari.
Foto: Arwinda Tri Nur Aini.
Wonosobo, Jawa Tengah.