MANGROVEMAGZ. Tulisan ini, penulis susun sebagai tanggapan dari tulisan Storigraf yang dipublikasikan di Tirto.ID, berjudul “Abrasi di Pantura: Berkukuh Diterjang Ombak.” Miris memang, melihat kenyataan erosi pantai di Pantai Bahagia – Kabupaten Bekasi, Kota Semarang dan Kabupaten Demak.
Penulis memiliki hipotesis bahwa fenomena erosi pantai, sebagian besar terkait dengan terganggunya keseimbangan transport dan suplai sedimen dalam satu sel. Secara alamiah, wajar jika terjadi erosi pantai di suatu wilayah dan akresi pada wilayah lainnya, yang masih dalam satu sel. Sedimen selalu bergerak mengikuti pola arus yang dibawa bolak-balik, sebagian besar oleh longshore current pada dua musim dalam satu tahun.
Hipotesis untuk Pantura:
Pantura berlaku iklim muson sepanjang tahun sehingga angin bertiup bolak-balik, yaitu (i) Angin Musim Barat Daya yang bersifat basah dan terasa kencang, karena datang dari arah Laut Cina Selatan sehingga mendorong sedimen Pantura ke arah timur, dan (ii) Angin Musim Timur Laut yang bersifat kering karena datang dari benua Australia, sehingga mendorong sedimen Pantura ke arah barat.
Transport sedimen ini, menjadi tidak wajar apabila terdapat objek penghalang dan terganggunya suplai sedimen dari sungai besar, karena setiap daerah pesisir memiliki permasalahan dan karakteristiknya masing-masing (penjabaran mengenai transport ini, penulis jabarkan pada tesis S2 Universitas Indonesia penulis, pada tahun 2014, dan dipublikasikan juga di Facebook penulis pada tanggal 18 Januari 2020).
Hipotesis untuk Kota Semarang:
(1) Terdapat penghalang semacam jetty atau konstruksi saluran gas atau minyak permukaan laut sepanjang 3 km, lebih menjorok ke arah laut (posisi di 6° 56’ 43,67” LS & 110°25’ 07.05” BT sampai dengan 6° 55’ 03,29” LS dan 110° 25’ 03.42” BT) untuk penyaluran bahan bakar dari kapal tanker ke PLTU Tambak Lorok. Berdasarkan Google Earth, terlihat bahwa di sekitar konstruksi terdapat pendangkalan.
Selanjutnya, juga terdapat sumber sedimen yang lumayan besar dari Kali Bodri, Kendal. Berdasarkan pengamatan Google Earth, terdapat akresi di sisi barat Kota Semarang, tepatnya di Pantai Kendal, namun erosi hebat terdapat di sisi timur Semarang, tepatnya di sisi barat Pantai Demak.
(2) Area yang mengalami erosi pantai, tidak hanya terjadi karena single factor di atas, tetapi ditambah juga oleh faktor lain, berupa ditebangnya pohon mangrove yang dikonversi menjadi tambak, sehingga sedimen tidak stabil dan mudah terbongkar terpaan gelombang. Proses ini telah terjadi dari era 80-an awal (terlihat dari history Google Earth).
(3) Tanah di daerah tersebut masih merupakan hasil pengendapan yang bersifat “muda” dari segi umur geologi, yang jika dibangun untuk aktifitas perekonomian, ditambah dengan pengambilan air tanah, maka akan turun, level muka tanahnya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan banjir rob. Kondisi ini, hampir serupa dengan Jakarta.
Selanjutnya, pada abad ke-15, area pesisir antara Demak dan Jepara masih berupa perairan, dengan Gunung Muria yang terpisah dari Pulau Jawa. Hal ini terbukti dari jebakan air-laut asin, jika dilakukan pengeboran di daerah tersebut.
Peta Sedimen Sel Provinsi Jawa Tengah.
Hipotesis untuk Pantai Bahagia:
(1) Ketidakseimbangan transport sedimen di pesisir Pantai Bekasi sehingga terjadi akresi di Pantai Mekar, Muara Kuntul, Muara Semblem Bekasi atau sebelah selatan Pantai Bahagia, sampai ke Sungai Cikeas di sisi barat Teluk Jakarta. Erosi hebat terdapat di Pantai Bahagia.
Berdasarkan pengamatan history Google Earth, fenomena erosi Pantai Bahagia ini baru terjadi pada tahun 2008. Hal ini, kemungkinan disebabkan oleh pengambilan pasir laut besar-besaran di atas Pantai Bahagia, sehingga mengakibatkan pola arus berbeda. Di wilayah ini, penulis menemukan adanya objek penghalang bolak-baliknya transport sediment dalam satu sel, yaitu jetty di Marunda Port sehingga sedimen dari Sungai Cikeas dan Sungai Muara Gembong tertahan di kawasan yang saat ini terakresi.
(2) Diperparah dengan perusakan dan penebangan hutan mangrove yang dikonversi untuk tambak dan industri di kawasan Pantai Bekasi.
Opini masukan penulis secara makro:
(1) Dilihat dari kebijakan dan peraturan, secara makro untuk seluruh pantai di Indonesia yang mengalami erosi pantai, salah satu penyebabnya karena kurang terpadunya pengaturan tata ruang dan zonasi, sehingga sering berubah dan saling tumpang-tindih.
Penulis berpandangan perlunya Omnibus Law terkait tata ruang darat dan zonasi laut (perihal opini ini, sudah penulis publikasikan di Facebook penulis, pada tanggal 23 Januari 2020) sehingga kejadian di daerah Pantai Semarang dan Demak, yang sudah ditanami mangrove, namun terkena proyek jalan tol Semarang – Demak dan tanggul laut, tidak akan terjadi kembali di masa depan.
Khusus Kota Semarang, terdapat keganjilan dalam penentuan garis pantai untuk zonasi Jawa Tengah, yang menggunakan garis pantai tahun 2013, sehingga menimbulkan kerancuan dalam penggunaan Perda Zonasi tersebut.
Dalam hal ini, penulis menganut pendapat Prof. Romli bahwa setiap peraturan harus mengikuti zamannya. Sudah saatnya, peraturan yang saling bertentangan dan tumpang-tindih diuji materi atau dilakukan Omnibus Law.
(2) Law enforcement yang tegas. Kita sudah ada kelengkapannya, yaitu UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan sudah dimasukkan dalam tuntutan tindak pidana korupsi perorangan dan korporasi, yang menimbulkan kerugian negara di sektor lingkungan hidup, seperti yang terjadi pada kasus Nur Alam (mantan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2018), yang diberikan sanksi pidana bagi pelaku industri yang menyedot air tanah.
(3) Program pembangunan struktur perangkap sedimen (break water, geotextile, hybrid engineering dan seawall), yang jika ingin tahan lama bisa dengan bahan struktur seperti Romawi kuno, dan rehabilitasi hutan mangrove secara keroyokan, fokus pada satu lokasi dan berkelanjutan, sesuai dengan prinsip Integrated Coastal Management (ICM).
(Sumber foto: 1: Yayasan IKAMaT; 2: Penulis).
Programing, implementing and financing analist at Ministry of Marine Affairs and Fisheries (MMAF) Republic of Indonesia.