MANGROVEMAGZ. “Aduh, kakiku sakit,” teriak sebuah suara di dekat pantai.
“Teruskan. Itu hanya capitan kecil. Ambil yang bagus-bagus cangkangnya. Kamu ke arah timur, aku ke barat,” kata temannya.
Malam itu, di belantara hutan mangrove Negeri Kertas, terlihat dua orang laki-laki sedang mencuri Kelomang yang dipelihara Mat Kesem. Sunu yang tak jauh dari situ, segera menghampiri salah satunya, namun kedua pencuri itu nampak tidak takut dengan kehadiran Sunu.
“Jangan dibawa ke pasar malam, Pak. Kasihan. Kelomang dibutuhkan di sini. Lubang di rumah Kelomang membantu menyuburkan tanah di mangrove,” pinta Sunu.
“Banyak omong, kamu. Anak kecil tahu apa,” kata sang Bapak kasar, sambil berlalu. Di pinggangnya, terlihat puluhan Kelomang yang nampak meronta-ronta ingin keluar dari wadah bambu.
Sunu sedih, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa.
Keesokan paginya, dia bertemu Mat Kesem. Tragedi pencurian semalam, diceritakannya kepada sahabatnya, sang Petualang Mangrove Cilik, itu.
“Kita harus cepat bergerak. Aku akan panggil Orion dan merencanakan sesuatu malam ini. Ayo, ikut aku,” pinta Kesem.
Malam itu di rawa, Mat Kesem dan Sunu bersembunyi di balik rimbunnya Rhizophora. “Aku yakin, Bapak-bapak itu akan ke kembali lagi ke sini,” bisik Kesem.
Dan benar, tak berapa lama kemudian, dari kejauhan nampak dua bayangan laki-laki mendekati pantai dan mulai mencuri Kelomang, seperti kemarin.
“Orion, sekarang!,” teriak Kesem.
Orion, Kelomang terbang, peliharaan Kesem nampak terbang di kegelapan malam, diiringi gelegar petir menyambar-nyambar yang keluar dari capitnya dan suara berisik dari ribuan Kelomang lainnya yang menyerbu dua lelaki di pantai.
“Wadau…, wadau…, sakiiit. Ampuuun. Kabur…, kabur. Ayo, lari. Ada petiiir… Kita disergap ribuan kepiting. Lari…, lari…,” teriak mereka.
Sunu yang melihat dari kejauhan tertawa kegirangan. “Makanya, jangan suka ngambilin Kelomang. Kesambar petir, dicapit-capit, tahu rasa. Hi…, hi…, hi…,” katanya.
(Ilustrasi: dokumentasi pribadi).
Mangrover, Mangrove Lover.