MANGROVEMAGZ. Manusia dijadikan oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi dengan maksud agar manusia mampu menjaga kelestarian bumi itu sendiri, karena manusia dianugerahi akal dan hati nurani. Namun, mayoritas kelebihan akal yang manusia miliki justru dipergunakan untuk meng-akal-i bumi demi egoisme pribadi. Salah satu ironi yang memprihatinkan terjadi di pesisir Banten, tepatnya di Pulo Cangkir.
Bahkan, kabarnya sebelum adanya peradaban manusia, wilayah Pulo Cangkir telah dipenuhi oleh ekosistem mangrove yang luas, terutama jenis Avicennia marina. Bagaikan malaikat, kehadiran A. marina dan jenis mangrove lain menjadi pusat kehidupan organisme dalam habitat air payau. Akar-akarnya yang muncul dari dalam substrat memberikan banyak nutrisi untuk ikan-ikan yang hidup disekelilingnya.
Kemampuan A. marina bersama sang Sahabat sejati Rhizophora sp. dalam menghalau gelombang untuk mencegah abrasi, juga sudah tidak diragukan lagi. Semua itu berkat barikade akar tunjang yang rapat dan kokoh. Selain itu, salah satu kelebihannya yang jarang diketahui adalah kemampuannya dalam melakukan fitoremediasi, yaitu penyerapan limbah beracun melalui akar pneumatophore-nya sehingga sifat toksik limbah beracun tersebut berkurang drastis atau hilang sama sekali.
Elegi kedzaliman para kaum pendzolim alam.
A. marina rela “menelan” racun dan menahan kesakitan dalam metabolisme tubuhnya untuk melindungi perairan dari polutan. Menciptakan keseimbangan lingkungan agar tak tercemar. Betapa baiknya “sang Malaikat” ini.
Namun, meskipun berbagai pengorbanan “sang Malaikat” dipersembahkan untuk ekosistem di pesisir Pulo Cangkir, sang Pendatang yang bernama manusia melakukan ekspansi dengan brutal, menebang hampir 70% jumlahnya. Alasannya sangat sederhana, ingin membersihkan lahan dari A. marina yang dianggapnya sebagai semak belukar tak berguna.
Keberadaan A. marina di Pulo Cangkir dicampakkan, dikonversi menjadi tambak-tambak liar yang tak mengenal sistem alam, “didaur-ulang” menjadi rumah-rumah tempat permukiman yang berhias sampah disekelilingnya.
Siapa yang berbuat kerusakan akan mendapatkan balasan. Begitulah janji Tuhan. Seiring era industri, di kawasan Tangerang berdiri pabrik-pabrik dengan produksi limbah beracun yang tinggi yang dengan kesewenangannya membuang limbah beracun tersebut melalui aliran air.
Hai, generasi “malaikat” penyelamat pesisir.
Dari sungai ke sungai hingga sampai pada wilayah pesisir, muara dari sungai-sungai. Ketika limbah beracun bertemu senyawa garam yang berasal dari lautan, toksisitas limbah tersebut meningkat 100 kali lipat.
Manusia-manusia serakah tersebut terkena dampaknya, penyakit-penyakit mulai menjangkiti tubuh mereka. Hidup yang semula ingin tenteram, berubah petaka. Ikan dan udang dalam tambak mati. Seketika tambak mereka pun merugi. Ekonomi carut-marut. Mereka berteriak memaki Tuhan, mengapa Tuhan timpakan kesusahan pada rakyat kecil seperti mereka. Apa yang salah? Jawabannya hanya satu. Karena kau tak bijaksana. Menyakiti sesama makhluk tanpa merasa.
Akhirnya setelah tersadar, “sang Malaikat” yang telah dalam kondisi kritis di sudut wilayah tersebut mulai diperhatikan. Masyarakatpun sadar bahwa kedzaliman merekalah yang menyebabkan merekapun terdzalimi. Kini, gerakan konservasi mulai tumbuh.
Salam hangat dari warga Pesisir Pulo Cangkir.
Masyarakat secara swadaya memperbanyak bibit-bibit “sang Malaikat.” “Malaikat” A. marina kecil mulai tumbuh. Secercah harapan kembali bersinar. Sistem tambak mereka ganti dengan aquaforestri. Mereka mulai mempelajari cara berdamai dengannya. Ketika mereka mulai menggunakan akal dan hati nurani sebagaimana seharusnya, mereka sadar bahwa “sang Malaikat” justru banyak memberikan manfaat.
Ekonomi berbasis mangrove pun mulai digiatkan. Satu harapan mereka kini, agar lebih banyak manusia yang memiliki kelebihan edukasi untuk peduli. Peduli nasib mereka. Masyarakat pesisir yang juga memiliki asa untuk bahagia.
(Sumber foto: dokumentasi pribadi).
Biology lecturer, KeMANGTEER Serang and mangrove addict.