MANGROVEMAGZ. Beberapa tahun lalu, (26/4/2013), menggunakan kapal penangkap ikan, saya berkesempatan mangroving mengunjungi sebuah pulau terpencil di tengah Laut Jawa. Terletak 150 mil laut (270 km) ke arah utara Pulau Madura, pulau tersebut disebut penduduk setempat dengan nama Pulau Sikambing, yang di setiap bulan purnama, dilabuhi oleh kapal nelayan puere seine.
Sikambing termasuk pulau terpencil yang penduduknya hanya 300 orang! Pulau dengan keliling 8 km ini, masih mempunyai ekosistem mangrove yang lebat dan bagus. Sayangnya, saat saya mencari lokasinya di Google Map, namanya bukan Sikambing, bahkan tak bernama alias “tak terdeteksi.”
Di awal tahun 2000-an, masyarakat ramai-ramai menebang mangrove untuk dijadikan lahan tambak. Setelah beberapa tahun berjalan, usaha tambak tersebut tidak berhasil karena kesulitan pemasaran. Kini, bekas lahan tambak yang ditebang telah ditumbuhi mangrove lagi.
Sebagian lahan mangrove di sana masih perawan. Bahkan ada yang belum dijamah oleh manusia. Susah sekali untuk menuju ke lokasi mangrove-perawan karena masih sangat rapat dan dianggap sakral oleh masyarakat setempat.
Akar papan jenis Xylocarpus, jenis mangrove langka di Jawa, juga ditemukan di sini.
Ada berbagai jenis mangrove bisa kita temui, mulai dari Xylocarpus, Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, Brugueira dan Ceriops bahkan mangrove asosiasi, seperti Ketapang dan Nipah, juga ada di sana.
Kepiting Bakau yang ditemukan di Sikambing, sebesar kaki manusia!
Biota-biota mangrovepun masih melimpah, mulai dari kepiting bakau seukuran kaki manusia, ikan gelodok, sampai burung Kakatua Putih Jambul Kuning yang terancam punahpun, membuat sarang di mangrove Sikambing.
Ada seorang pencari kepiting bakau bernama Pak Usman yang mengantar saya keliling mangrove Sikambing. Dia orang yang paling sering ke hutan mangrove untuk mencari kepiting.
Gedhek rumah Pak Usman sudah hampir delapan tahun, tapi karena direndam air rendaman kulit batang Rhizophora, warnanya tidak pudar.
Dia menggunakan air rendaman kulit batang Rhizophora untuk mewarnai gedhek rumahnya. Ternyata, hasilnya bagus. Gedhek tersebut menjadi lebih awet terhadap serangga dan cuaca. Warnanyapun tidak memudar, padahal sudah hampir delapan tahun digunakan.
Pada awalnya, masyarakat mengambil kayu mangrove untuk dijadikan kayu bakar. Namun, alhamdulillah sejak dua tahun terakhir, telah terbit peraturan desa yang melarangnya. Dengan adanya peraturan tersebut, sekarang, praktik penebangan mangrove semakin berkurang.
Saya sempat bertemu dengan para warga untuk berdiskusi mengenai keadaan pesisir pulau tersebut. Hampir semua warga tidak tahu bahwa waktu tumbuh mangrove sangat lama. Setelah berdiskusi, akhirnya mereka menjadi tahu tentang manfaat mangrove yang bisa dijadikan bahan pangan dan fungsi fisik ekologis lainnya.
Selama ini belum pernah ada kalangan akademisi mahasiswa maupun peneliti bidang pesisir dan kelautan yang datang ke pulau tersebut untuk melakukan penelitian ataupun penyuluhan.
Cantiknya Kakatua Jambul Kuning, burung endemik di Sikambing.
Yang pernah datang hanyalah pihak pemerintah dan akademisi dari bidang kehutanan yang kemudian mengelola Sikambing menjadi area konservasi burung Kakatua Jambul Kuning, sebagai burung endemik yang hanya ada di pulau tersebut. Kakatua membuat sarang di pohon mangrove jenis Sonneratia yang sudah tua, dan memakan buah-buahan mangrove.
Pada intinya, masyarakat Sikambing menginginkan kedatangan mahasiswa dan kalangan akademisi yang ahli pesisir dan kelautan untuk memberikan penyuluhan di daerahnya. Semoga saja, setelah kami, nanti akan ada lagi para mangrover lainnya yang berkunjung ke sana. Amin.
(Sumber foto: dokumentasi pribadi, 5).
Perubahan merupakan kewajiban. Just me…