MANGROVEMAGZ. Pernahkah Anda membayangkan apabila tidak ada hutan mangrove di pesisir? Menurut Anda apakah yang akan terjadi? Selain bebasnya tsunami, matinya benih ikan, hilangnya mata pencaharian warga, juga yang pasti abrasi.
Apakah abrasi itu? Menurut Wikipedia, abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Fenomena ini merupakan kejadian nyata yang dialami wilayah pesisir Indonesia, karena hutan mangrovenya rusak.
Menurut penelitian terbaru, Desa Bedono yang terletak di Sayung, Demak adalah wilayah dengan tingkat abrasi tertinggi di Jawa Tengah. Warga setempat berkisah bahwa karena abrasi, desanya juga sudah dibedol sejak puluhan tahun yang lalu. Air laut masuk bebas ke rumah-rumah mereka. Pihak kecamatan telah mengungsikan mereka ke desa lain yang aman.
Lokasi pemukiman di hutan mangrove Morosari, Demak dilihat dari citra satelit. Kini tersisa delapan KK!
Apa yang terjadi, saat air laut masuk ke pemukiman mereka? Tahukah Anda, bahwa saat pasang datang (biasanya dua kali sehari), maka mereka akan mengangkat dipan (ranjang), kursi, meja dan perkakas lain ke tempat yang lebih tinggi karena naiknya muka air laut.
Penderitaan mereka gara-gara abrasi tak hanya itu saja, masalah sanitasi lingkungan, Bedono juga memiliki track record yang buruk. Dari pengamatan saya beberapa tahun terakhir ini, penyakit gatal-gatal dan kulit berbintil akibat pencemaran air adalah sesuatu hal yang wajar. Kasihan, bukan (?).
Tidak hanya itu, permasalahan sosial budaya pun ada. Ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti UNDIP, tentang Dampak Abrasi Pantai terhadap Lingkungan Sosial di desa Bedono.
Jaringan air bersih yang menghasilkan air tawar dibangun di kawasan hutan mangrove Morosari, yang berair asin.
Intinya, kondisi Bedono, di 2014 sangat memprihatinkan. Wilayah yang dulunya pemukiman padat penduduk dan lahan pertanian, kini sudah berubah menjadi lautan lepas. Miris!
Dibalik Bedono yang sudah tenggelam, ada hal unik yang saya amati, saat beberapa hari lalu (30/8/2014) berkunjung ke sana, bersama dengan Rekan-rekan Jurnalis SIEJ. Walaupun memang sudah dibedol, namun ternyata masih terdapat delapan KK yang bertahan.
Rekan-rekan jurnalis saat berdiskusi dengan salah satu warga setempat.
“Kulo nekad sih teng mriki, nggih supados njagi kuburane Mbak Mudzakir,” jelas salah satu warga, dengan bahasa Jawanya yang medok yang bila diIndonesiakan artinya adalah “Saya sengaja masih tinggal di sini, karena sambil menjaga makamnya Mbah Mudzakir.”
Memang, di tengah-tengah hutan mangrove yang kini sudah dijadikan Kawasan Konservasi Mangrove Morosari Demak ini (Morosari adalah nama salah satu dari tujuh dukuh di desa Bedono – red), terdapat makam sesepuh desa Bedono, yang sangat dihormati.
Makam Mbah Mudzakir di tengah laut. Dahulu kala, laut itu adalah pedesaan padat penduduk, yang kini tenggelam oleh air laut.
Bagi kedelapan KK yang tidak mau pindah, menjaga makam sesepuhnya sambil menjaga hutan mangrove di sana adalah sebuah pengabdian.
“Selain bekerja sebagai nelayan, buruh dan swasta, kami mendapatkan uang dari menjual mie, bolu dan peyek Api-api (salah satu jenis mangrove – red), minuman dan makanan ringan lain kepada wisatawan yang ramai berkunjung ke sini,” jelas salah satu warga.
Salah satu warga yang membuka usaha warung jajanan.
Sebelum memasuki kawasan konservasi mangrove yang dikelola oleh pemerintah daerah Demak bekerja sama dengan salah satu LSM Jepang, yaitu OISCA, saya disuguhi dengan jalan setapak yang sangat panjang, yang kini sudah dibeton.
Padahal, setahun lalu, beton ini masih bambu sehingga menyulitkan delapan KK dan wisatawan saat akan berkunjung ke sana. Maklum, dari jalan utama, jaraknya lumayan jauh, berkisar 300 meter jalan kaki.
Untuk menuju area hutan mangrove “berpenghuni” harus menempuh jalan berkisar 300 meter jalan kaki.
Kanan kiri jalan yang kini beton, sudah dipasang lampu untuk memudahkan akses warga Morosari di malam hari. Sesampainya di pintu masuk hutan mangrove tersebut, kondisi jalan yang semula beton, berubah menjadi mangrove tracking dari kayu yang dipenuhi dengan lebatnya Avicennia. Terdengar pula suara keramaian dari “obrolan” burung bangau yang membuat suasana benar-benar terasa di hutan liar.
Persimpangan jalan beton dan mangrove tracking dari kayu.
Kerennya, walaupun serba sederhana dan “dikepung” bencana, warga di sana, bisa hidup berdampingan dengan alam. Di hutan mangrove, yang memang benar-benar hutan, mereka juga “bercocok tanam,” walaupun di bawah rumah mereka adalah lautan lepas yang masih banyak dipenuhi sampah.
Sampah rumah tangga yang tersangkut di akar-akar mangrove.
Terlihat kumpulan pot bunga yang cantik nan indah tergantikan niche bunganya dengan bunga mangrove Avicennia. Sungguh cantik!
Tak hanya flora saja, namun faunanya juga tak kalah menarik. Jika di rumah kita memelihara kucing dan anjing, di sini warganya “memelihara” ikan gelodok dan bangau serta ular tanpa sangkar alias lepas di alam. Keren, kan!
Penampakan ular yang sedang berenang di akar-akar mangrove.
Nah, lalu bagaimana dengan kebutuhan air mereka sehari-hari? Bagaimana delapan KK itu mencuci, memasak, mandi dan minum? Percayakah Anda, bahwa walaupun dikelilingi air asin, namun mereka memakai air tawar. Kok bisa?
Bisa! Karena mereka mengambil air dari sumur di tengah hutan mangrove tersebut, yang dibor oleh pemerintah setempat, sampai dengan kedalaman + 125 meter. Hipotesanya, dalamnya pengeboran sumur inilah yang menyebabkan warga di sana bisa menikmati air tawar sejak tahun 60-an. Terlihat ajaib, bukan!
“Kulo teng mriki, nggih sampun tawar. Dipun bor 125 meteran, mpun ket mbiyen, tahun suwidakan. Dados warga mriki nggih nyuci, maem, ngagem air tawar,” jelas salah satu warga yang bila diIndonesiakan berarti, “Saya di sini, ya sudah tawar. Dibor 125 meter sudah sejak dulu, tahun 60-an. Jadi warga di sini, ya mencuci, makan memakai air tawar.”
Salah satu kran sumber air tawar di rumah warga.
Keberadaan sumber air ini menjadi tumpuan utama air bersih untuk aktivitas warga setempat. Bayangkan jika tidak ada sumber air di wilayah tersebut, mereka harus berjanan minimal 300 meter untuk mendapatkan air bersih ke arah daratan.
Memang, Tuhan adil, ya. Walaupun dikelilingi dengan air laut yang asin, delapan KK warga Morosari masih dilimpahi anugerah berupa air tawar yang melimpah ruah. Mungkin, ini adalah jawaban-Nya, sebagai balasan atas pengabdian mereka dalam menjaga makam leluhur mereka. Wallahu a’lam!
(Sumber foto: dokumentasi pribadi).
Pemred di MANGROVEMAGZ. I am mangrovepreneur.