MANGROVEMAGZ. Kepiting bakau (Scylla spp) merupakan salah satu biota yang menggantungkan hidupnya dari keberadaan mangrove. Mengapa demikian? Karena dalam siklus hidupnya, hutan mangrove adalah tempat hidup mereka hingga siap memijah. Terlebih lagi, secara alami, mangrove membutuhkan keberadaan kepiting bakau untuk menyuburkan kandungan substrat pada ekosistemnya.
Kepiting membuat lubang yang digunakan sebagai tempat persembunyiannya. Nah, lubang yang dibuatnya ini, berfungsi sebagai salah satu sarana untuk memberikan sirkulasi pertukaran udara (oksigen) dari substrat mangrove. Pertukaran udara ini membantu menghilangkan zat-zat racun yang ada. Sungguh hebat, bukan? Inilah simbiosis mutualisme alami yang terjadi di antara keduanya:
Di Indonesia, kepiting bakau menjadi komoditas yang sangat menggiurkan bagi beberapa kalangan. Tiap hari, puluhan ton kepiting yang berasal dari berbagai pulau besar di Indonesia, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Papua diekspor ke luar negeri. Aktivitas ini menjadi mata rantai yang menghidupi ratusan bahkan ribuan nelayan di Indonesia.
Namun, saat ini aktivitas penangkapan kepiting bakau di Indonesia tidak lagi bisa berjalan bebas, setelah diberlakukannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2015 yang melarang penangkapan kepiting bakau (Scylla spp) yang lebar karapasnya kurang dari 15 cm.
Tidak hanya kepiting bakau saja, jenis lainnya pun ikut diatur dalam peraturan ini, seperti rajungan dengan lebar karapas dibawah 10 cm dan udang lobster yang cangkangnya belum sampai 8 cm, juga dilarang untuk ditangkap. Selain itu, menangkap dengan kondisi sedang bertelur juga dilarang (Sumber).
Nah, untuk hal melarang menangkap kepiting bakau dalam kondisi sedang bertelur, ada hal yang unik di Bone. Ternyata, tidak semua daerah yang melakukan aktivitas penangkapan kepiting bakau akan menangkap dan menjualnya dalam kondisi sedang bertelur. Justru sebaliknya, di Bone, Sulawesi Selatan, ternyata ditemukan kebiasaan yang sangat baik dan sangat cocok apabila diterapkan di seluruh wilayah di Indonesia. Apakah kebiasaan itu?
Masyarakat nelayan di Bone, apabila menemukan kepiting bakau dalam kondisi bertelur, maka tidak akan dijual ataupun dikonsumsi. Justru, nelayan yang menemukannya akan melepasnya kembali ke alam.
Selain karena memang tidak memiliki nilai jual (tidak ada masyarakat Bone yang mau membelinya untuk dikonsumsi), nelayan di Bone sadar bahwa telur-telur yang jumlahnya mencapai jutaan itu, akan menjadi calon kepiting bakau yang baru.
“Di sini, kepiting yang bertelur seperti itu tidak ada yang mau beli, Mas. Saya sendiri lebih memilih untuk melepasnya kembali ke alam” ujar pak Basri salah satu nelayan di Bone.
“Di Bone, sepertinya sudah menjadi semacam kebiasaan. Misalkan nelayan ada yang jual, masyarakatpun tidak ada yang mau membelinya. Jadi nelayan yang mendapatkan kepiting bertelur, pasti akan dilepas lagi” tambah Pak Sultang, selaku penyuluh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bone.
Berbeda dengan Bone, di Pemalang, Jawa Tengah, masyarakat nelayannya apabila menemukan kepiting dalam kondisi bertelur, justru akan menjualnya. Mengapa demikian? Karena apabila dijual, harganya akan meningkat 2 – 3 kali lipat dari harga normal kepiting bakau.
“Sekalipun dibuatkan aturan untuk larangan penangkapan, tetap saja apabila menemukan kepiting bakau yang bertelur akan dijual, wong harganya mahal,” ungkap salah satu nelayan di Pemalang.
Semoga, dengan adanya permen yang dicetuskan oleh Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan), akan dapat menekan jumlah perdagangan kepiting bakau yang bertelur. Bayangkan saja, apabila telur-telur ini menetas dan berkembang biak, maka secara alami tentu saja akan dapat meningkatkan stock kepiting bakau di negara kita.
(Sumber foto: dokumentasi pribadi, 2, Guntur Diantoro).
Pemred di MANGROVEMAGZ. I am mangrovepreneur.