Ekosistem mangrove dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita semua apabila dikelola dengan baik, namun saat ini kondisi hutan mangrove di Indonesia mengalami kerusakan dan pengurangan area secara cepat (Hutomo, 2004 dalam Sudarso, 2005).
Pranawingtyas (2004) dalam Sudarso (2005) mengatakan bahwa kerusakan hutan mangrove di Indonesia sudah tergolong cukup parah, yaitu sudah mencapai 68% dan kawasan hutan mangrove di Pantai Utara Pulau Jawa diperkirakan hanya tinggal 10% (Idris, 2004 dalam Sudarso).
Kegiatan yang memberikan sumbangan terbesar terhadap kerusakan mangrove di Indonesia adalah usaha eksploitasi yang hanya memperhatikan keuntungan jangka pendek saja dari pada eksploitasi jangka panjang yang berkelanjutan.
Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan tuntutan untuk mendayagunakan sumberdaya mangrove terus meningkat. Konversi (perubahan tata guna lahan) hutan mangrove yang dilakukan manusia secara berlebihan seperti perluasan tambak dan membuka pemukiman baru mengakibatkan flora dan fauna hutan mangrove berangsur musnah (Kitamura et al., 1997; Saenger, 2002).
Hogarth (2007) mengatakan bahwa kerusakan hutan mangrove juga disebabkan oleh adanya polusi panas dan polusi kimia yang menghasilkan logam berat, pestisida, dan petroleum yang dapat menyebabkan kerusakan pada habitat mangrove, sampah dari aliran sungai yang masuk ke dalam lingkungan mangrove, dan pencemaran limbah minyak di kawasan hutan mangrove.
Tidak semua kerusakan mangrove disebabkan oleh adanya bencana alam seperti badai dan gelombang tsunami. Melihat kondisi seperti ini, maka perlu dilakukan berbagai upaya rehabilitasi terhadap ekosistem mangrove yang rusak. Salah satu usaha untuk mengembalikan kondisi alamiah ekosistem mangrove yang telah mengalami kerusakan adalah dengan penghijauan (reboisasi) atau penanaman kembali (re-plantasi).
Jawa Tengah (Jateng) merupakan salah satu provinsi yang terkenal dengan beraneka ragam jenis mangrovenya. Selama ini, masyarakat hanya mengenal mangrove di Pantura Jateng, padahal apabila kita telisik lebih jauh, mangrove di Pansela Jateng tak kalah indahnya dengan mangrove di Pantura Jateng.
Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah (2011), luas total ekosistem mangrove di Pantura Jateng adalah 2.458 hektar. Namun, luasannya ini belum diimbangi dengan tingginya kesadaran masyarakat untuk melestarikan ekosistem yang sering disebut bakau oleh masyarakat awam.
Berikut kondisi enam titik kawasan mangrove di Pantura dan Pansel Jateng:
1. Rembang
Walaupun sudah terdapat kawasan ekowisata mangrove yang mulai tertata apik di desa Pasar Banggi, namun masih terdapat salah satu kecamatan di Rembang yang sedang mengalami konflik, seputar perluasan tambak oleh oknum tertentu, dengan cara membabat hutan mangrove di sekitarnya. Kasus ini sudah dilimpahkan ke pihak kejaksaan Rembang untuk diproses lebih lanjut.
Selain kasus tersebut, Rembang sebagai satu- satunya Kabupaten di Jateng yang belum memiliki KKMD tingkat kabupaten. Untuk itu, diperlukan bantuan dari KKMD Jateng dalam proses koordinasi pembentukannya, demi pelestarian ekosistem mangrove di Kota Garam, ini.
2. Pemalang
Ekosistem mangrove di Santren dan Mojo sangat terawat. Banyak jenis mangrove yang hidup dengan baik, mulai dari komponen mayor, minor maupun asosiasi. Menurut informasi, bibit mangrove pertama, ditanam secara swadaya pada tahun 2000, dan di tahun 2013 ini, sudah bisa berhasil tumbuh dengan baik.
Namun demikian, ada sedikit permasalahan terkait dengan transportasi, dimana akses ke kawasan mangrove di Santren, hanya bisa dilalui dengan perahu saja. Jalan darat belum memungkinkan.
Hal inilah yang masih terus dikaji oleh kelompok tani mangrove setempat, bersama dengan KKMD Jawa Tengah, dengan tujuan untuk meningkatkan potensi wisata mangrove pada daerah Santren, Pemalang.
Kawasan mangrove di Desa Mojo ternyata disiapkan sebagai Kawasan Wisata Mangrove di Pemalang. Namun, masih ada beberapa titik di kawasan tersebut yang membutuhkan usaha rehabilitasi mangrove yang lebih keras, karena kondisinya yang cukup parah dan sistem wanamina yang kurang berjalan dengan baik. Bahkan, masih banyak masyarakat yang menggunakan daun mangrove sebagai pakan ternak tanpa pembudidayaan lebih lanjut.
3. Kendal
Bibit mangrove yang merupakan bagian dari program penanaman mangrove tenggelam diantara timbunan sampah.
Sampah-sampah tersebut berasal dari laut yang mendarat di kawasan pantai tersebut. Tentu saja, sampah-sampah tersebut akan menghambat pertumbuhan dari pada bibit mangrove yang telah ditanam.
Padahal, saat bibit-bibit tersebut ditanam, kawasan tersebut bersih dari sampah.
Seharusnya ada program menyeluruh dari pemerintah atau swasta untuk menyelesaikan masalah tersebut seperti coastal clean up atau pemindahan sampah tersebut menuju TPA terdekat, agar pertumbuhan mangrove di kawasan Wonorejo bisa tumbuh dengan optimal dan mengembalikan konektivitas diantara ekosistemnya.
4. Tegal
Kabupaten Tegal, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Slawi, sekitar 14 km sebelah selatan Kota Tegal. Daerah yang terkenal dengan wisata air panas Guci dan Gunung Slamet ini, ternyata menyimpan keindahan ekosistem mangrove yang sangat menawan.
Persebaran mangrove di Kabupaten Tegal terdapat di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Kramat, Warureja, dan Suradadi (Pemkab Tegal, 2012). Berdasarkan laporan yang didapatkan dari BLH Kabupaten Tegal, pada tahun 2012 lalu, telah terjadi abrasi sejauh 50 meter di obyek wisata Purwahamba Indah (Purin) yang berada di Kecamatan Suradadi.
Untuk mengantisipasi agar kejadian serupa tak terulang kembali, tahun ini Kabupaten Tegal mulai menguatkan kelembagaan, dengan membentuk KKMD Kabupaten Tegal dan melakukan kegiatan penanaman dan pemeliharaan mangrove bersama CSR perusahaan setempat.
Tak ketinggalan, KeSEMaT melalui program BUMN Peduli 2013, bekerjasama dengan Perum Perhutani, juga melakukan kegiatan penanaman dan pemeliharaan mangrove di seluruh pesisir Pantura Jateng, khususnya di Kabupaten Tegal, tepatnya di Desa Demangharjo, Kecamatan Warureja, Kabupaten Tegal.
5. Purworejo dan Kebumen
Berdasarkan laporan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan, sudah terjadi abrasi yang menghilangkan TPI di pantai Keburuan, di Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo.
Sementara itu, di Kabupaten Kebumen, penanaman 1000 batang bibit cemara udang (Casuarina equisetifolia) yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jateng, di lokasi laguna Desa Lembupurwo, Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen memiliki kelulushidupan yang cukup baik.
Lokasi wisata yang masih sangat asri ini, dengan gunungan pasir yang menutupi dan dentuman gelombang laut Pansela, menjadi salah satu tempat yang mendapat perhatian dari KKMD Jateng, agar ke depan kondisinya tidak seperti di Segara Anakan yang sudah terkena abrasi sangat parah.
Kondisi Mangrove di Luar Jawa
Apabila kita bandingkan dengan kondisi ekosistem mangrove di luar Jawa, di Sulawesi Tengah, misalnya, ternyata hutan mangrove di sana juga mengalami tekanan lahan yang sama, dengan hutan mangrove di pulau Jawa.
Menurut informasi penelitian dari KeSEMaT (2013), di Banggai, Sulawesi Tengah, banyak ditemukan jenis- jenis vegetasi mangrove yang tidak ditemukan di Pulau Jawa, diantaranya Osbornia octodonta, Cerbera manghas, Derris trifoliata dan masih banyak jenis lainnya.
Dari hasil penelitian tersebut, juga bisa disimpulkan bahwa kondisi vegetasi mangrove di Banggai relatif masih bagus, namun ada beberapa ancaman, diantaranya pemotongan batang pohon mangrove untuk dijadikan kayu bakar dan pengelupasan batang kulit pohon mangrove untuk dijadikan pengawet jaring ikan, serta pengalihfungsian lahan untuk dermaga pelabuhan nikel.
Diperlukan pelatihan mengenai cara rehabilitasi dan berbagi pengalamannya, mengenai upaya penyelamatan ekosistem mangrove yang keberadaannya semakin terancam kepada warga sekitar Banggai.
Kedepan, diharapkan terus terjadi konsolidasi yang lebih erat antara pemerintah dan masyarakat di semua pesisir Jawa, untuk bersama-sama menyelamatkan mangrove dan warga di pesisir Pantura dan Pansel Jawa.
(Sumber foto: KeSEMaT).
Ordinary woman with extraordinary God.