Sepanjang tahun 1980 hingga 1990 budidaya udang windu berkembang pesat dan menjadi primadona perekonomian di pesisir Brebes, termasuk Desa Sawojajar. Aktivitas pertambakan ini turut mempengaruhi kenampakan lahan berupa hamparan tambak di sepanjang pesisir Desa Sawojajar.
Perekonomian desa berkembang pesat, banyak perusahaan tambak dan pendatang yang turut membuka tambak di wilayah ini. Namun demikian euforia itu tidak bertahan lama, pada medio 1990an atau tepatnya sekitar tahun 1996-1997 budidaya tambak udang windu tidak lagi produktif.
Tambak-tambak tersebut ada yang kemudian ditinggalkan begitu saja, namun sebagian besar kini beralih menjadi lahan tambak bandeng.
Kebijakan pemanfaatan lahan untuk budidaya tambak di masa lalu ternyata kemudian disadari turut mempengaruhi kerentanan wilayah ini terhadap abrasi dan banjir rob. Apalagi sepanjang pesisir Sawojajar minim akan penghijauan (tanaman mangrove).
Pada tahun 1997 atas inisiatif dari sebagian orang yang peduli dan prihatin dengan adanya kerusakan lahan pantai yang mengalami abrasi dan terdampak rob, dibentuklah kelompok tani yang bernama Kelompok Pelestari Sumberdaya Alam (KPSA) Wana Lestari yang dihadiri oleh PPL Kecamatan, Kepala Desa, Kelompok Tani dan tokoh masyarakat. Pembentukan KPSA ini dilaksanakan secara musyawarah di balai Desa Sawojajar.
Sepuluh tahun terbentuk, barulah pada September 2007 kelompok ini disahkan atas prakarsa dan dukungan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Jawa Tengah.
Pak Munasir, Ketua KPSA Wana Lestari berkisah bahwa dulu saat mulai mencoba menanam mangrove di pematang tambak dan pinggir sungai kerap mendapat cercaan dari warga sekitar. Banyak yang menganggap beliau kurang kerjaan dan mmembuang-buang waktu dengan menanam sesuatu yang tidak jelas gunanya.
Namun ketika masyarakat sudah mulai mengerti dan menyadari manfaat mangrove,kini banyak yang mendukungnya. Pemerintah Desa Sawojajar pun turut memperhatikan usaha pelestarian mangrove ini dengan menerbitkan Peraturan Desa (Perdes) Nomor 141/02/III/2015 Tentang Ekosistem Mangrove dan Pemancingan Di Lokasi Tambak.
Sejak tahun 2007-2015 tercatat sekitar 1.004.440 bibit mangrove dan 4.000 bibit cemara laut telah ditanam oleh KPSA Wana Lestari.
Dari jumlah tersebut sekitar 250 bibit mangrove yang ditanam oleh Dinas Keluatan Perikanan (DKP) Kabupaten Brebes terpaksa hilang akibat abrasi besar pada tahun 2010. Meski demikian sekitar 754.400 bibit sisanya dapat bertahan dengan daya tumbuh hingga 80%-90%.
“OISCA Toshiba kemaren mengacungi 4 jempol untuk kita, Mas, bahkan mau ditambahin jempol lagi kalau seandainya masih ada. Daya tumbuh mangrove di Desa Sawojajar ini menurut mereka paling baik dibanding daerah tanam mereka yang lain,” kata Pak Munasir, Ketua KPSA Wana Lestari.
Menurut Pak Munasir, keberhasilan penanaman mangrove di Desa Sawojajar tidak terlepas dari metode penananam yang langsung menggunakan propagul.
Demikian juga yang disampaikan Pak Maskorim, Kepala Bidang (Kabid) Pesisir dan Kelautan, DKP Brebes. Metode tanam dengan menggunakan propagul selain lebih efisien juga dianggap memiliki ketahanan adaptasi lingkungan yang tinggi dan akar yang tumbuh akan lebih kuat dikarenakan langsung tumbuh di medan tanam.
Selain itu, kepedulian masyarakat terhadap mangrove itu sendiri juga sangat mendukung keberhasilan program rehabilitasi mangrove di wilayah ini.
Pada tahun ini, KPSA Wana Lestari Desa Sawojajar rencananya akan menanam sekitar 190 ribu bibit mangrove yang didukung oleh berbagai instansi.
Dukungan itu antara lain dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebanyak 114 ribu bibit, DKP Kabupaten Brebes sebanyak 50 ribu bibit dan Oisca Toshiba sebanyak 25 ribu bibit.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Kabid Pesisir dan Keluatan DKP Brebes yang mengatakan bahwa di Brebes jumlah bibit yang ditanam akan selalu lebih banyak dari yang dialokasikan karena adanya swadaya dari masyarakat (kelompok).
Sejak tanggal 8 September 2016 KPSA Wana Lestari Sawojajar telah memulai kegiatan penanaman sebanyak 114 ribu bibit dari KKP dari rencana semula yang akan menanam sebanyak 860 bibit mangrove.
Pengurangan volume tanam ini tidak terlepas dari efisiensi anggaran yang dilakukan oleh KKP yang terpaksa merombak program prioritas penanaman 4 juta bibit mangrove.
Kegiatan penananam 114 ribu bibit mangrove merupakan program Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dalam program ini, Direktorat Pendayagunaan Pesisir, Kementerian Kelautan dan Perikaan bekerjasama dengan Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia untuk menyiapkan tenaga pendamping atau fasilitator masyarakat guna memastikan kesiapan masyarakat dalam menyukseskan program dan bersedia melakukan pengelolaan berkelanjutan.
Kehadiran fasilitator dimaksudkan untuk memberikan pendampingan penguatan kelembagaan sehingga pengelolaan mangrove dapat lebih efektif dilakukan oleh kelompok.
Penananam mangrove di Desa Sawojajar ini berlokasi di dekat kawasan yang rencananya akan dijadikan sebagai kawasan wisata mangrove. Dengan demikian, selain dapat menunjang penghijauan, juga akan mendukung aktivitas pariwisata di Desa Sawojajar.
Selain itu, secara bersamaan juga dilakukan penanaman sebanyak 50.000 bibit dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes.
Rencana Pariwisata Mangrove
Selain melakukan kegiatan penanaman mangrove, KPSA Wana Lestari mempunyai rencana untuk mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan mangrove lebih dari sekedar rehabilitasi lahan.
Mereka mulai menumbuhkan harapan dan langkah-langkah terencana yang didasari dari pemikiran sederhana bahwa selain dapat melestarikan mangrove, juga dapat memberi manfaat bagi kelompok maupun masyarakat sekitar.
Sebagian kawasan mangrove yang sudah menghutan direncanakan akan dijadikan kawasan pariwisata dan pembelajaran mangrove yang terdiri dari wisata burung, wisata tracking dan terintegrasi dengan kawasan Pulau Pasir.
Dari hasil interaksi selama ini dengan beberapa anggota Wana Lestari menunjukan betapa sebenarnya kelompok ini sangat kaya akan ide dan gagasan.
Pak Sofyan Darko, salah seorang anggota kelompok membuka pembicaran. Katanya, “Liat sampah di depan pulau pasir, itu bisa bermafaat semua kalau kita mau mengelola.” Pak Sofyan Darko memang dikenal sebagai seorang seniman. “Dari botol-botol dan sandal bekas bisa kita rangkai menjadi sesuatu yang menarik, nanti bisa menjadi tempat selfie wisatawan yang berlibur di hutan mangrove kita. Sampah kita bersih, mangrove terjaga dan kelompok serta masyarakat bisa dapat tambahan penghasilan,” jelas pak Sofyan Darko.
Dia mengungkapkan gagasannya dan mendorong ketua kelompok untuk segera membuka kawasan wisata mangrove.
Kapasitas KPSA Wana Lestari untuk mengelola mangrove dan menjadikannya sebagai tempat wisata agaknya memang tidak perlu diragukan. Hanya saja, tetap perlu didukung dan terus didorong agar cita-cita mereka segera terwujud.
Suatu waktu di sela-sela kegiatan FGD Penyusunan Rencana Kerja KPSA Wana Lestari, Pak Ali Mashuri yang juga merupakan Kepala Restorasi Pesisir DKP Brebes pernah menyampaikan keoptimisannya terhadap gerakan Wana Lestari.
“Kelompok ini, saya yakin dalam lima tahun kedepan akan menjadi hebat,” tandas Pak Ali Mashuri.
Keberadaan KPSA Wana Lestari tentu saja adalah kabar baik bagi kegiatan pelestarian lingkungan pesisir bagi kita semua. Terkhusus lagi bagi bagi rehabilitasi kawasan pesisir mereka sendiri.
Kawasan yang dulunya rentan abrasi, lapang terpapar matahari kini pelan-pelan berubah hijau. Bersamaan dengan itu, hijaunya Sawojajar pelan-pelan menumbuhkan harapan untuk penghidupan yang lebih baik, lebih sejahtera dan ekologis.
Semoga semakin banyak kelompok sepesrti KPSA Wana Lestari di sepanjang pesisir Indonesia.
(Sumber foto: dokumentasi pribadi).
Peneliti DFW-Indonesia.