MANGROVEMAGZ. “Pembangunan selalu berkembang yang ditandai dengan pertumbuhan penduduk, urbanisasi, migrasi, serta pergeseran peruntukan lahan yang menyebabkan alih fungsi lahan. Terjadinya alih fungsi lahan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain pelaksanaan tata ruang yang tidak konsisten, pengendalian yang lemah, serta kesadaran masyarakat dalam menaati rencana tata ruang yang masih rendah.”
“Di sisi lain, pembangunan juga menghasilkan berbagai aktivitas manusia yang berdampak lingkungan. Kegiatan yang berada di hulu sungai, seperti pertanian dan perkebunan berpotensi mencemari sungai karena sedimentasi, pestisida, dan pupuk yang akhirnya sampai ke laut. Sementara itu, di wilayah hilir sungai, seperti daerah perkotaan terdapat banyak kegiatan industri, pemukiman, dan pelabuhan yang menghasilkan limbah dan juga terbuang ke laut.”
Dua paragraf di atas merupakan kutipan dari sambutan yang disampaikan oleh Drs. Heru Waluyo selaku Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir dan Laut dari Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan.
Bertempat di Puri Lobby Hotel Ciputra Semarang, (4/9), workshop yang bertajuk Peningkatan Kualitas Lingkungan Perairan Teluk Semarang yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, digelar.
Pesisir Teluk Semarang sendiri terbentang mulai dari Delta Bodri, Kabupaten Kendal hingga Delta Wulan yang terdapat di Kabupaten Demak. Menurut Drs. Heru Waluyo, Teluk Semarang merupakan salah satu kawasan dengan pencemaran laut terparah. Air yang terdapat di teluk ini semakin menghitam dan sampah yang rapat mengambang di permukaan air menjadikan Teluk Semarang sebagai muara dari sungai-sungai yang tercemar logam berat.
Selain itu, menurut paparan ahli dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) dan Ikatan Teknik Sipil (IKATEKSI) Universitas Diponegoro (UNDIP), penurunan luasan mangrove di pantai utara Kota Semarang dari tahun 2003 hingga tahun 2010 mencapai 78% atau setara dengan 99,5 ha, ditambah lagi dengan penurunan muka tanah di pesisir utara Semarang dan sekitarnya, semakin memperparah erosi pantai dan banjir rob di Teluk Semarang. Selain itu, terdapat juga permasalahan lain yang menjadi faktor pemicu, seperti pengambilan air tanah, peningkatan beban, dan peningkatan muka air laut akibat pengaruh Gas Rumah Kaca.
Disampaikan oleh Sri Wahyuni, SH.MM dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Semarang bahwa hasil analisis kualitas air (muara) dan air laut Kota Semarang menyatakan untuk beberapa daerah di Kota Semarang, seperti sungai (hilir) Kota Semarang Wilayah Barat (Banjir Kanal Barat) per Maret 2015 bahwa kandungan Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) memiliki kadar yang cukup tinggi, yaitu 0,0435 mg/lt dan < 0,05 mg/lt .
Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 untuk baku mutu sungai kelas II (air baku sarana rekreasi, peternakan, pembudidayaan ikan air tawar dan pertamanan). Begitu juga dengan Sungai Banjir Kanal Timur yang memiliki kandungan Tembaga (Cu) cukup tinggi, yaitu 0,127 mg/lt per bulan Juli 2015.
Selain itu, permasalahan lainnya yang dialami Kota Semarang, yakni penambahan panjang garis pantai Kota Semarang sebagai akibat dari abrasi dan akresi pantai dan penurunan muka tanah (land subsidence), serta adanya alih fungsi lahan berupa pembukaan tambak dan reklamasi pantai.
Peta panjang garis pantai Kota Semarang sebagai akibat dari abrasi dan akresi pantai dan penurunan muka tanah.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas, disampaikan pula oleh Sri Wahyuni, SH. MM bahwa upaya perbaikan kondisi lingkungan telah dilakukan oleh BLH Kota Semarang, yakni dengan penanaman mangrove semenjak tahun 2011 hingga tahun 2015 di Kecamatan Tugu dan Kecamatan Genuk dan pembuatan sabuk pantai dengan menggunakan ban bekas dan buis beton (groin) yang dilakukan setiap tahunnya, sejak tahun 2010 hingga 2015 di Kecamatan Tugu dan Kecamatan Genuk.
Selain Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2011 yang mengatur tentang baku mutu sungai (hilir), kebijakan lainnya mengenai kawasan hilir ataupun hulu, yakni Undang-Undang (UU) No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil serta Peraturan Presiden No. 121 Tahun 2012 tentang Rehabilitasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Drs. Heru Waluyo selaku pembuka acara sekaligus nara sumber menyampaikan bahwa strategi kebijakan yang ingin dikembangkan berkaitan dengan permasalahan yang ada di Teluk Semarang ialah dengan mengendalikan beban pencemaran yang masuk ke laut dengan pengembangan instrumen perizinan pembuangan limbah ke laut, pengembangan perangkat regulasi lingkungan, pelaksanaan pemantauan kualitas air laut, pelaksanaan inventarisasi wilayah pesisir dan laut, pembangunan Industri Pengelolaan Air Limbah (IPAL) komunal pada wilayah tertentu, dan peningkatan kerjasama dengan unit, sektor, maupun institusi lain untuk peningkatan pengelolaan, dan pengawasan kualitas air.
Dengan adanya strategi tersebut, langkah nyata yang dilakukan, yakni peningkatan Program Peringkat Perusahaan (PROPER), pengembangan program rantai emas, serta manajemen pesisir yang terintergrasi.
Kawasan Teluk Semarang.
Selain kedua nara sumber di atas, materi juga disampaikan oleh Ir. Arief Rahman Hakim (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang) yang menjelaskan materi tentang Permasalahan dan Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Laut di Kawasan Teluk Semarang, dan Ir. R. Agus Priambodo Utomo, MT (Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Semarang) dengan materinya yang berjudul Strategi Upaya Pengendalian Pencemaran Limbah Domestik di Kota Semarang.
Acara yang dihadiri oleh 35 orang peserta ini terdiri dari berbagai institusi dan kalangan, diantaranya Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah, Badan Lingkungan Hidup Kendal, Badan Lingkungan Hidup Demak, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Demak, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Tengah, FPIK UNDIP, KeSEMaT UNDIP, IKAMaT Semarang, Green Community UNNES, serta dinas terkait lainnya.
“BLH Kota Semarang telah menanam mangrove sejak 2011 hingga 2015 di Kecamatan Tugu dan Kecamatan Genuk,” ujar Sri Wahyuni.
Acara yang dimulai pukul 09.00 WIB hingga 16.00 WIB ini memberikan kesimpulan bahwa Teluk Semarang, bersamaan dengan Teluk Jakarta dan Teluk Benoa, Bali dijadikan sebagai area kajian Rencana Strategi (Renstra) Terpadu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 berupa kegiatan pemulihan 85 wilayah pesisir Indonesia dan pembangunan inventarisasi sumberdaya dan wilayah.
RPJMN sendiri merupakan tahapan dari pencapaian Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo.
(Sumber foto: dokumentasi pribadi, Dinas Kelautan dan Perikanan Semarang, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Semarang).
Traveller, love nature.