MANGROVEMAGZ. Mangrove memiliki berbagai macam fungsi, diantaranya adalah fungsi ekonomis dan fungsi ekologis. Banyak sekali hasil dari hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan, sehingga dapat memberikan income bagi masyarakat, misalkan buah mangrove untuk makanan dan pewarna batik.
Fungsi ekologis mangrove adalah daerah pemijahan (spawning ground), daerah mencari makan (feeding ground), dan daerah pembesaran (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya.
Selain itu, serasah mangrove (berupa daun ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan, menjadi sumber pakan biota dan unsur hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan perairan laut di depannya.
Lebih jauh lagi, hutan mangrove juga merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia, dan jenis-jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mangrove menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan.
Hutan mangrove masih memiliki banyak fungsi lainnya, diantaranya menjadi tempat bersarangnya spesies burung serta menjadi tempat transit burung-burung yang hendak berimigrasi.
Berbagai hal ini merupakan bukti bahwa dengan pemeliharaan hutan mangrove yang baik, maka akan banyak membawa dampak terhadap rantai kehidupan.
Salah satu jenis spesies burung yang hidup di area hutan mangrove adalah Burung Kuntul Kecil (Egretta garzetta). Burung yang juga masuk dalam kategori Burung Bangau ini, memangsa berbagai jenis ikan, kodok, krustasea, serangga air, dan juga belalang.
Informasi mengenai burung air yang hidup di hutan mangrove, pernah kami bahas di sini. Keberadaan burung Kuntul ini dilindungi oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan juga tertuang di dalam Lampiran PP No. 7 Tahun 1999.
Berbicara mengenai Burung Kuntul ini, saya menemukan hal unik seputar kehidupannya yang membuatnya berbeda dengan jenis Burung Bangau lainnya. Berada di Jalan Setiabudi Semarang, terdapat sekumpulan Burung Kuntul yang hidup di pohon asem, terletak persis di pinggir jalan raya. Lokasinya berdekatan dengan Markas Yonif 400 Raider – Kodam Diponegoro.
Keberadaan burung di jalanan ini patut dipertanyakan, dan jadi fenomena yang unik, karena habitat aslinya adalah di pesisir pantai yang dipenuhi hutan mangrove. Oleh karenanya, timbul berbagai macam spekulasi terkait dengan kehadirannya di sini.
Apakah hutan mangrove yang menjadi habitatnya ditebang, sehingga Burung Kuntul ini “terpaksa” tinggal di pohon asem tersebut sebagai tempat tinggalnya kini (?).
Gambar di atas menunjukan, Burung Kuntul membuat sarang di pohon. Untuk dapat melihat kawanan burung ini dipagi hari, maka Anda harus tiba dilokasi sebelum pukul 09.00 WIB. Apa sebab? Karena burung yang memiliki bulu warna putih ini, akan pergi mencari makan. Nah, jika ingin melihatnya di sore hari, maka datanglah seusai sang Burung mencari makan, pada pukul 17.00 WIB.
Sore hari usai mencari makan, Burung Kuntul nampak beterbangan di atas jalanan yang penuh dengan lalu-lalang kendaraan bermotor, sebelum akhirnya menuju ke sarangnya masing-masing.
Si Burung Mangrove ini, membentuk kelompok dan berputar-putar disekitar pohon asem, dimana mereka tinggal. Beberapa burung juga terlihat hinggap di halaman Yonif 400 Raider.
Sarangnya yang berada tepat di atas jalan, berpengaruh dengan kondisi jalan disekitarnya. Salah satunya adalah, kotorannya yang berjatuhan di badan jalan, sehingga menyebabkan jalanan penuh dengan bercak putih.
Nah, bagi pengguna jalan yang bernasib sial, saat melewati jalan menggunakan mobil ataupun motor, kotoran Kuntul bisa jadi mengenainya. Selain itu, bulu-bulu yang rontok juga bertebaran di jalanan.
Menurut keterangan beberapa warga sekitar dan pengguna jalan yang melintas, Burung Kuntul itu berasal dari pesisir yang kemudian bersarang di pohon asem. Informasi lainnya, burung juga telah ada di sana sebelum markas Yonif 400 Raider dibangun.
Masih menurut warga, asal muasal burung-burung ini adalah dari pesisir Semarang. Informasi ini bisa dibenarkan, karena memang habitat asli Kuntul adalah di hutan mangrove. Namun, karena saat ini hutan mangrove Semarang dan sekitarnya luasannya menurun (hanya tersisa 10% saja, menurut penelitian Dinas Kehutanan Semarang, tahun 2013), menyebabkan tempat tinggalnya hilang, sehingga “memaksa” mereka untuk tinggal di pepohonan Setiabudi.
Ini adalah potret nyata yang seharusnya jadi pembelajaran bagi kita semua, untuk menjaga dan melestarikan alam sebagaimana mestinya, supaya kasus “kehilangan” tempat tinggal tidak terjadi pada fauna lainnya. Mari jaga hutan mangrove kita!
(Sumber foto: 1, 2, dokumentasi pribadi).
Pemred di MANGROVEMAGZ. I am mangrovepreneur.